Senin, 22 September 2014

Serumit inikah ?

Seperti sedang ujian akhir sekolah , ketemu soal pilihan ganda yang kamu ragu antara A atau C yang benar karena B dan D sudah jelas-jelas salah. Seperti sedang berada di persimpangan dan kamu bingung kemana harus melangkah. Seperti aku yang menyimpan banyak ragu…

Kupikir ini hanyalah angin sejuk yang lewat tapi tak mau tinggal. Kurasakan semakin jelas rupanya ini seperti topan yang lama-lama membesar. Menghancurkan kewarasanku. Aku membiarkan semuanya terbang terbawa topan, aku menikmatinya.

Kamu datang di saat yang tepat, tapi kamu datang membawa semua keraguanmu. Hingga aku ikut ragu akan apa yang sedang kita jalani. Pernah sesekali kita memperbincangkan cinta, tapi kita tak pernah sampai pada akhir cerita. Kita membiarkannya menguap  secara perlahan, lalu kita endapkan lagi, lalu kita membiarkannya menguap lagi. Seterusnya.

Masa lalu, itu melulu yang membuatmu ragu. Hatiku memilihmu. Tapi keraguanmu pada masa lalu membuatku ragu membawamu ke masa depanku. Bukankah aku pernah bilang di suatu malam lewat pesan yang kukirimkan “Jadikan masa lalu sebagai pembelajaran agar kau tak melakukan kesalahan yang sama di masa depanmu”. Ahh mungkin memang Tuhan berkata tidak kepada kita, mungkin kamu memang bukan jalanku.

Tapi kamu pernah berkata juga “Everything happen to a reason”. Jika sesuatu terjadi pada kita, bukankah juga ada alasan untuk itu?. Tidakkah kamu berpikir bahwa Tuhan mendekatkan kita karena sebuah alasan?. Apa yang sebentar dan sementara ini hanya untuk pembelajaran masing-masing dari kita?. Lalu kenapa harus rasa peduli yang timbul, bukankah peduli dan suka itu sama halnya dengan cinta?. Terlalu cepat kusimpulkan semua ini cinta…

Kenapa dengan melihat masa lalu yang terjadi di antara kita aku takut untuk maju, mengambil langkah, memiliki dirimu. Aku sudah mulai terbiasa dengan hadirnya dirimu di layar telepon genggamku. Sering sekali kita beda pendapat tentang cara pandang kita terhadap kehidupan. Tentang beda-beda yang lainnya. Bukankah perbedaan itu yang membuat kita satu suara. Jika tak ada perbedaan Bhineka Tunggal Ika tak akan terpakai, katamu. Ya aku setuju padamu yang penuh dengan ide gila.

Aku suka sekali ketika kamu bilang aku terlihat pandai ketika kita berdebat. Kamu selalu saja menyerah di tengah perdebatan. Selalu bilang kalau kamu mengalah dan mengiyakan kata-kataku. Padahal aku suka perdebatan kita itu, panjang kali lebar kali tinggi perasaanku meluap. Tak terkontrol.

Tiba-tiba saja aku merasa tak mampu jika harus melewati hari tanpa kabar darimu, bukankah kamu juga merasakan hal yang sama? Mengutuk betapa kampretnya sinyal yang timbul tenggelam. Kurasa kita sudah saling membutuhkan, lalu mengapa kita tidak saling melengkapi.

Kubayangkan kita minum kopi bersama. Matamu sibuk membaca buku Rahvayana karya Sudjiwo Tedjo di tangan kananmu, aku sibuk membaca buku Soekarno yang ada di tangan kiriku. Tangan kita yang lainnya sibuk menghangatkan dalam genggaman. Sesekali kau letakkan buku karya dalang edan itu untuk mencecap kopi yang mulai mendingin, ngomel betapa Sudjiwo Tedjo penuh dengan pemikiran edannya yang membuatmu terkadang harus mengulang membaca agar paham apa maksud seniman itu. Apa aku harus menjawab dengan gaya Soekarno agar kamu paham bahwa aku lebih tak paham daripadamu.

Aku tau kamu belum siap untuk terikat. Aku tau kamu tak mau jika harus berjalan setengah hati. Aku tau kamu masih terkadang merindukan masa lalumu. Aku tau itu, tapi cobalah untuk tau tentangku. Aku belajar sabar, tak pernah begini aku sebelumnya. Akan kutunggu kamu di persimpangan ragu-ragu itu. Jika Tuhan berkata iya untuk kita tentunya kita akan berjalan beriringan bukan? Tapi jika memang tidak, akan kuteruskan pencarian atas sayapku yang lainnya yang ternyata bukan ada padamu.


Minggu, 02 Februari 2014

Bisakah kita ubah yang begitu saja menjadi luar biasa?



Bahkan ketika ada yang memperjuangkanku
aku masih berharap engkau cemburu.

Dah bahkan ketika aku berharap engkau cemburu, kau malah asyik dengan duniamu sendiri. Ini seperti cinta yang tak berujung. Tak pernah bertemu pada titik. Mungkin Tuhan sedang memberiku dua peran untuk memahami kehidupan. Di satu sisi aku menjadi penggemar yang minta di folback tapi tak digubris oleh idolanya, di sisi lain aku yang menjadi idolanya tapi aku malah sedang minta folback orang lain. Entahlah. Begitu-begitu saja.

Setiap kali akan bertemu denganmu aku selalu mempersiapkan seratus pertanyaan bahkan lebih. Tapi pada kenyataannya aku malah lebih banyak diam, mencintaimu dari sudut pandang yang lain. Dan setiap kamu pergi lagi aku selalu menunggu waktu untuk bertemu denganmu dan menanyakan apa yang tak jadi kutanyakan. Tapi begitu-begitu saja.

Disaat sepi seperti sekarang, entah kenapa kamu yang aku pertanyakan. Dan disaat sepi yang seperti ini coba kau tebak apa yang kulakukan. Aku menulis, meriwayatkan kebodohanku. Mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang tak mampu kusampaikan. Menggambarkan rasa rindu yang tak berkesudahan lewat kata-kata. Lalu aku merasa sedikit lega.

Terkadang di sepi yang lain, aku menekan tombol-tombol huruf di telepon genggamku. Merangkai kata yang tak segamblang dalam tulisan ini, dan mengirimnya ke nomor ponselmu. Mengirim pesan singkat padamu harus kuimbangi dengan mewanti-wanti diri agar tak kecewa jika tak ada balasan. Seandainya saja kamu tau, aku ingin lebih dari sekedar basa-basi mengirimu pesan singkat. Seandainya aku lebih mampu aku ingin sekali bercengkrama denganmu menembus jarak yang membentang di antara kita.

Tapi selalu begitu-begitu saja. Percakapan lewat pesan singkat itu tak pernah berjalan dalam waktu yang lama. Mungkin hanya empat sampai lima balasan darimu lalu sudah, aku kehabisan pertanyaan. Padahal aku punya seratus pertanyaan bahkan lebih. Kamu terlalu dingin. Bahkan terkadang tak ada tawa sama sekali. Sekalinya aku membuat lelucon, itu terlihat begitu garing karena kamu terlalu dingin.

Tapi di lain waktu kamu masih mau membalasnya seperti kamu yang dulu. Banyak yang ku harapkan dari percakapan singkat kita lewat pesan singkat itu. Tapi begitu-begitu saja. Hanya empat sampai lima balasan lalu sudah. Aku diam.

Hujan membuat situasi sepi seperti saat ini tambah kelabu. Hujan selalu membuat situasi begitu melankolis. Begitu sarat akan seratus pertanyaan yang entah kapan akan aku utarakan. Dan ketika aku menulis ini hujan datang, aku perparah dengan mendengarkan lagu Ku Tak Bisa.

Tapi di saat seperti ini Tuhan membuatku menjalankan peran yang lainnya, menjadi idola. Aku bisa saja membuka hatiku untuknya, tapi bukankah kuncinya sudah kutitipkan padamu. Aku bisa saja merubah status lajangku ini menjadi kekasih seseorang, tapi aku tak mau. Aku sedang menunggu kau cemburu.

Tapi begitu-begitu saja. Dari awal aku paham ini seperti cinta tak berujung. Cinta yang tak menemukan titik temu. Dan dari awal aku juga paham, aku harus melakukan sesuatu.
Mengubah yang begitu-begitu saja menjadi sesuatu yang berbeda. Tapi. Aku tak seberani dulu dalam menyuarakan maunya hati. Aku sekarang sudah lebih jatuh cinta pada rangkaian kata-kata ini. Tapi. Ahh terlalu banyak tapi dalam tulisan ini.

Hei lelaki yang tak juga cemburu,
ingin sekali aku membicarakan masalah hati denganmu.
Tapi bertemu denganmu selalu membuatku tak pandai berkata-kata


Rabu, 08 Januari 2014

Tanpa Jeda

Kenapa engkau tak segera mendua, agar aku tak lagi mendamba


Malam ini, saat aku berkunjung ke dunia maya jari-jemari dan rasa rindu membawaku mengunjungi timelinemu.
Banyak sekali status “entahlah” disana, kebanyakan berkata kamu yang juga sedang “entahlah” hahaha, aku sedikit berbangga saat ini. Ternyata tidak ada yang dapat merawatmu sehebat aku. Atau mungkin belum ada, ahhh tentu takkan ada yang sehebat aku kan ?

Dan sayangnya belum ada yang sehebat kamu, mampu membuatku jatuh cinta seperti ini. Jatuh yang amat sakit sehingga lama bagiku tuk mampu bangkit lagi. Padahal sudah lama… terlalu lama untukku berpikir sebenarnya aku mencintaimu karena apa? Mungkin karena obsesi semata. Atau mungkin aku hanya mencintai kenangan yang terlalu punya banyak warna. Kamu memang hebat. Dan karena kamu hebat kamu mampu membuat luka yang hebat pula.

Kamu (harus) tau? (!), setiap lewat kotamu aku selalu melihat kita sedang bercengkrama di sudut kota. Aku melihat kamu memasangkan cincin di jari manisku. Aku melihat kamu datang membawakan jas hujan ketika aku lupa membawnya saat pulang kerumah. Hujannya sangat lebat, aku menunggu dalam takut dan kamu datang menerobos hujan. Anehnya saat kamu sampai di tempatku hujannya mereda, terlihat sia-sia. Tapi aku tak pernah menggagap itu hal sia-sia, karena dengan itu aku tau bahwa aku yang kamu perjuangkan (waktu itu).

Aku kembali sibuk dengan timeline-mu. Kini aku sampai pada awal 2013 lalu, bulan kedua.

Aku hancur, bahkan lebih parah dari kata hancur itu sendiri. Kamu bersama gadis lain. Aku masih sangat ingat kronologinya. Status facebookmu yang tadinya lajang berganti menjadi bertunangan (ini alay tau nggak? Kalian itu cuma pacaran, trus putus). Aku sedang makan di kantin kampus sama teman-temanku, aku lapar sekali waktu itu. Lalu temanku, yang temanmu juga menanyakan kabarku. Terdengar ganjil, tapi ternyata temanku itu mengatakan status facebookmu itu bukan hanya omong kosong belaka. Kamu bersama gadis lain.

Aku kenyang, aku berhenti makan setelah itu dan satu minggu setelahnya. Mukaku terlihat tirus setelah satu minggu setelah itu. Aku kenal gadis itu, dia ada di kelompok murid baru yang aku pegang selama MOS. Aku benci gadis itu, tapi sepertinya aku lebih membencimu yang tak mengindahkan harapanku.

Hari-hariku setelah itu sangat hancur. Sangat hitam putih. Sangat kelabu. Tapi teman-temanku mulai mencemoohku yang dengan bodohnya merenungkanmu di jam-jam kuliah. Aku tau mereka begitu karena mereka peduli. Banyak sekali yang tiba-tiba sok dewasa mengajariku tentang kehidupan. Mengatakan akan ada yang lebih baik datang padaku, seperti kata-katamu kan?. Mereka memang tidak akan pernah tau rasanya, tapi mereka yang sebenarnya membuatku kembali bertemu warna selain hitam dan putih.

Dan dua/tiga bulan setelah itu kalian berpisah. Aku benci sekali gadis itu, yang berpura-pura sebagai orang lain lalu megirimiku e-mail. Bercerita tentang dirinya sendiri. Dia berkata kalau kalian berpisah supaya kamu bisa kembali padaku. Ahhh dia ternyata masih gadis yang labil (dan licik). 

Hidupku memang kacau ketika mengetahuimu menggandeng tangan gadis lain, tapi bukan berarti aku senang dengan keputusan bahwa akhirnya kalian berpisah. Tapi bukan berarti pula aku sedih mendengarnya. Aku sudah tak peduli dengan hidup kalian.

Dan malam ini, ketika aku sudah menemukan kebahagianku tanpamu aku bertanya dalam diam “kenapa engkau tak segera mendua, agar aku tak lagi mendamba?”

Sungguh setelah sejauh inipun kamu masih menjadi topik dalam tulisanku.

Aku masih menjadi stalkermu yang hebat. Yang ketika tak bisa menahan hebatnya rasa rindu lalu menangis. Yang masih terkadang merapal namamu dalam doaku. Yang masih menjadikanmu bahan obrolanku dengan Tuhan. Aku sering lho meminta Tuhan melindungimu selalu, memberikanmu kesehatan, dan kehidupan yang lebih baik. Tapi dalam rapalan doaku, aku juga meminta pada Tuhan agar membimbingku menjauhimu.

Rasanya ingin segera melihatmu mendua kembali setelah aku menemukan kebahagianku yang tanpamu itu.

Kau tak usah khawatir aku akan sehancur dulu jika kau mendua lagi. Aku sudah sampai pada garis finish membiasakan diri tanpamu. Hanya saja (aku tak mau munafik) terkadang aku merindukanmu.

Jika kamu kemudian mendua di hari besok, aku akan menulis satu tulisan terakhir untukmu nantinya. Itupun jika aku belum menemukan topik lain untuk tulisanku. Hehehe, maaf ya Mas ! aku tak tau kehidupan depan akan seperti apa.

Cepatlah mendua, supaya aku tak berangan-angan mendapatkanmu lagi. Supaya aku merasa haram ketika harus merindukanmu. Supaya aku juga memantapkan hati dengan orang yang akan kutemui.

Jika kita sama-sama sendiri ingin aku berkata “kenapa kamu tak mendua denganku lagi saja?” hahaha :D

Cepatlah mendua, agar aku tak lagi mendamba
Cepatlah mendua, agar aku tau kamu bahagia
Cepatlah mendua, karena aku sudah sangat kuat melihatmu mendua
Cepatlah mendua, karena aku sudah bosan mendambamu


Selasa, 22 Oktober 2013

tidakkah ada aku di kenanganmu?



Tidak ada yang berbeda dari pertemuan kita sekarang dengan yang sebelumnya, terakhir kita berjumpa ramadhan tahun ini, sama-sama datang dalam undangan buka bersama kelas kita, sekitar 3 bulan yang lalu ! Dan sekarang setelah 3 bulan itu kita sama-sama datang ke undangan pernikahan teman kelas kita.

Kita masih sama-sama membuat jarak yang rasanya hanya aku dan kamu yang melihatnya. kita masih sama-sama canggung untuk sekedar menyapa terlebih dahulu. Kita masih sama-sama enggan menanyakan kabar masing-masing. Kita masih sama-sama menyimpan ego yang tak berkesudahan. Tunggu, kita atau hanya aku saja yang merasakan semua ini?

Tidak ada yang berbeda dari pertemuan kita sekarang dengan terakhir kita berjumpa, hanya saja aku merasakan kembali kehampaan yang kau ciptakan di Oktober 2012 silam. 3 bulan yang lalu, aku sudah berkata pada diriku sendiri bahwa aku bisa menemuimu tanpa membawa semua kenangan kita, dan aku memang bisa. Dan 3 bulan setelah itu kita bertemu lagi, aku duduk dibarisan belakangmu. Selama hampir 2 jam, tak ada obrolan yang terlontar diantara kita kecuali “titip kunci dong” yang aku ucapkan. Tak ada jawaban, kau meraih kuncinya tanpa menatapku. Setelah itu kita kau kembali menatap kedepan dan aku kembali diam-diam menatapmu. Dalam diam-diam itu semua kenangan kembali datang, entahlah mungkin karena didepan sana teman kita bersanding dengan kekasihnya dalam suatu prosesi saKral bernama pernikahan, yang dimana dulu kita pernah memimpikannya melakukan hal yang sama. Dulu. Lalu semua kehampaan dan kenangan itu berubah menjadi sebuah kerinduan.

Aku rindu

Aku merindukan semua hal gila yang pernah kita lalui. Apa kau masih ingat sering sekali kita main batu kertas gunting atau cingciripit hanya untuk membuang waktu berdua. Apa kau masih ingat betapa kita sama-sama tidak menyukai hewan bernama kucing. Lalu apa kau masih ingat juga dulu waktu kita sama-sekali tak berkirim pesan singkat karena aku dalam proses ospek kau mengirim pesan singkat padaku, berkata tentang sebuah rindu. Yang lucu dari hal ini adalah telepon genggamku ada padamu. Tak hanya itu kau juga mengirim pesan singkat lewat jejaring facebook, yang jelas sudah kau tau aku tak akan menjawabnya. Sebuah kata rindu juga yang kau utarakan. Rindu sekali rasanya melihatmu tertawa disampingku. Rindu sekali melihat alas an tertawamu adalah aku.

Semakin aku menulis, semakin terlihat nyata kita berdua di masa lalu. Semakin masuk kedalam kerinduan yang tak berpenghuni. Dan aku menangis. Sudah lama sekali rasanya aku tak menangisimu seperti ini.

Tapi sayangnya ketika esok hari setelah semalam aku menulis kalimat diatas aku melihatmu dalam sebuah status di facebook. Disana tertulis –seingatku- “Oktober 2009, jadi ingat akan sesuatu, ya Allah kembalikan dia padaku” aku terpana, aku termenung, aku terdiam. 2009, tahun Dua Ribu Sembilan. Seolah-olah tak pernah ada aku di tahun 2011mu. Seolah-olah tak pernah ada aku setelah hampir 1,5 tahun aku merajut asa bersamamu. Seolah-olah kau tak pernah menangisi hubungan kita yang terus berjalan tanpa restu orangtua selama hampir satu setengah tahun. Seolah-olah hanya aku saja yang mempunyai kenangan akan apa yang selama hampir satu setengah tahun kita sebut dengan cinta.

Harusnya aku langsung membanjirimu dengan sumpah serapah, tapi toh nyatanya aku malah melanjutkan menulis tulisan ini. Berharap suatu saat kau akan membaca ini dan menyadari bahwa dulu pernah ada seorang wanita yang begitu mencintaimu, begitu merindukan sapaan hangatmu, begitu tak menggubris dunia yang menolak akan dia dan dirimu, dan yang begitu berharap kamu juga melakukan hal yang sama.

Setelah satu tahun kita berpisah, Oktober tahun ini tiba-tiba aku merasa ingin memperjuangkanmu (lagi). Untungnya itu hanya pemikiran bodoh yang hinggap hanya dalam dua malam. Yang kupaksa masuk kedalam hati yang paling dalam lagi.
Kalaupun aku mendapatkanmu lagi, atau paling tidak punya waktu untuk bercengkrama denganmu lagi hanya ada kalimat “Hey Boy, don’t you remember us?” setidaknya apakah tak ada aku dalam kenanganmu, entahlah.....

untuk 25juniku,

Selasa, 20 Agustus 2013

entah mengapa ini disebut rindu !

Apa salahnya aku merindukan orang yang sedikitpun tak mengerti aku disini menunggu hadirnya.

Ada temanku bertanya, what do you think about love. Karena dasarnya sedang unmood dengan cinta jadi begini jawabnya “entahlah yang kutau cinta menyakitkan sekali ketika aku merindu dan dia sedang tertawa tanpa tau aku sesakit ini merindukannya”

Apa salahnya aku merindukan orang yang mungkin sedang merindukan orang lain.

Hati kecilku berkata lantang, lantang sekali. Kamu sedang membuang-buang waktumu jika kamu masih seperti itu. Dan entah apa yang membuatku menjawab “entahlah yang kutau aku sakit merasakan perasaan ini, tapi itu semua semacam candu. Membuatku terus menginginkan memikirkannya”

Apa salahnya aku merindukan orang yang pernah memberikan bahu dan pelukannya ketika aku menangis.

Terbayang sekali aku pernah menangisi masa lalu yang begitu kelam dan menghancurkan hidupku. Tapi toh itu hanya masa lalu. Tapi kamu tiba-tiba menumpahkannya kembali dihadapanku “entahlah aku malah rindu saat aku menangis dan berada didekatmu, aku tau aku tampak sangat konyol dan tidak cantik ketika menangis. Tapi saat itu aku tau, ada tangan yang terulur untuk menghapus air mataku”

Apa salahnya aku merindukan orang yang datang dengan permisi, tapi pergi seperti bukan lelaki.

Menghilang, begitu saja. Tiba-tiba lenyap, membuatku semakin rindu suasana hening ketika kita duduk bersama. Coba saja dia pergi sesantun ketika dia mau datang ke kehidupanku. “entahlah, aku benci mengingat cara dia pergi. Meninggalkan aku yang sedang cinta-cintanya. Mungkin kondisi ini datang ketika aku merasa kehilanganmu. Dan yang paling hebat dari semua ini, adalah kamu yang terlihat tak pernah ada aku penyebab tawamu. Tapi tetap saja, aku merindukanmu”

Apa salahnya aku merindukan orang yang memanggilku dengan panggilan istimewa. Dulu !

Kurasa lebih menyenangkan hidup dalam masa lalu. Karena masa depan tak jelas bagaimana ceritanya akan tertulis. Hidup di masa lalu, memperbaiki apa yang salah. Hidup di masa lalu, mewujudkan apa yang dulu kita sebut harapan masa depan. Hidup di masa lalu, ketika masih ada kata kita yang menyatukan aku dan kamu. “entahlah, sebenarnya aku benci dengan kamu yang ada di masa laluku, karena itu berarti kamu tak aan pernah ada di masa depanku. Tapi entah mengapa, aku selalu merindukan apa yang ada di masa lalu. Yang paling kurindukan adalah saat hangat pelukmu ada disetiap aku akan pulang. Mencegahku untuk pulang, dan membuatku membiarkan waktu berjalan begitu pelan”
Apa salahnya aku merindukanmu. Apa yang salah dari kata rindu yang begitu saja muncul ketika kamu tak lagi seperti dulu. Apa salahnya aku merasa ada yang hampa ketika kamu tak sesering dulu berujar sayang kepadaku. Apa salahnya aku membenci dirimu yang sekarang, yang dulu tiba-tiba datang. Apa salahnya aku menitipkan sedikit banyak tentang kita yang harusnya tetap menjadi kita.

Semua memang salah, tapi aku tak akan pernah menyalahkan kehadiranmu. Aku tak pernah menyesali setiap kata yang mendekatkan kita. Aku tak pernah benci dengan hadirmu. Karena darimu aku belajar lagi tentang kehidupan. Aku adalah aku, aku adalah hidupku, aku adalah cintaku. Dan aturanmu tak akan mengubah aku menjadi dia. 

dari Aku yang sedang merindu. Untukmu yang entah mengapa tiba-tiba menjauh, membuatku merasa sakit karena rindu.

Senin, 12 Agustus 2013

mylovelyfamily

How about my family?

Coba saja datang kerumahku, ada satu kakak laki-laki dan satu kakak perempuan, mas dan mbak ! tentu saja ada bapak dan mamak disana. Dan ada aku, anak terakhir dari tiga bersaudara. Yang sekarang sudah semester tiga di Institut Pertanian Stiper Yogyakarta. Kakak perempuanku semester tujuh di UKSW Salatiga. Dan kakak laki-lakiku sudah menjadi pekerja honorer –yang semoga saja segera menjadi PNS- di balai penyuluhan tidak jauh dari rumahku. Dia juga sorang mahasiswa Widya Dharma Klaten dengan biaya kuliah sendiri, entah kapan skripsinya akan selesai.

Bapakku bukan siapa-siapa. Bukan seorang PNS apalagi sorang pengusaha. Beliau seorang petani yang terkadang menjadi peternak ayam jika ada PHBI. Seorang muslim yang taat, seorang yang menurunkan sedikit gen kepintaraannya kepadaku. Seorang yang sering memarahiku waktu kecil ketika hafalan bacaan solatku tak kunjung benar. Seorang Bapak dengan ego yang agak tinggi, sama sepertiku. Ibuku juga bukan siapa-siapa, dia seorang penjual roti yang dia buat sendiri dirumah, semacam home industri begitulah. Seorang koki terhebat sepanjang masa, walau terkadang beliau memasak masakan yang tak kusuka atau masakannya keasinan. Aku selalu merindukan masakannya. Seorang Ibu yang sangat cerewet, sama sepertiku. Dan bagaimaanapun aku bangga terhadap kedua orangtuaku.

Rumahku, memang cukup besar untuk kami tinggali berlima, tapi coba tengok lebih dalam kerumahku. Dindingnya belum bercat, masih berwarna dasar putih. Dan putihnya ini bukanlah putih dari cat minyak atau cat warna, tapi ini warna dasar sebelum pengecatan dilakukan –entah apa namanya aku lupa- hanya ada tiga bingkai foto yang menempel di dinding, itupun di ruang makan. Dan aku meyadari betapa anehnya hal itu ketika aku menulis ini. LOL. Bingkai jendela rumahku sudah mulai melapuk, pernah suatu hari aku membersihkan kamarku dan ketika aku membuka jendela, jendelanya terlepas dari bingkai dan terlempar keluar. Aku kaget, Bapak kaget, Ibu apalagi. Tapi lantas kami tertawa. Lantainya masih dilapisi semen yang dibuat kasar, belum berubin. Suatu waktu aku pernah berkata pada Ibuku “kenapa tidak pasang keramik saja, biar rumahnya keliatan bagus” lantas apa coba jawab ibuku, dia berkata “ oke, tapi kalau kamu mau makan, makan keramik. Kalau kamu mau bayar kuliah, copot lagi keramiknya. Pilih yang mana el?” aku hanya tertawa sambil berlalu. Bagaimanapun keadaan rumahku, its my favourite place. Karena disini aku bisa beristirahat setelah lelah beradu dengan kejamnya dunia, selalu ada pundak untuk berecrita tentang kejadian dikampus setiap akhir pekan. HOME SWEET HOME.

Coba tengok kembali rumahku, ini hal yang membuat aku bangga terhadap kedua orang tuaku. Kami bukan siapa-siapa, rumah kamipun sangat cocok dengan kata sederhana. Tapi orangtuaku tetap berusaha membuat aku dan kakak perempuanku mengenyam pendidikan di bangku kuliah sampai S1 nanti. Jika dipikir ulang, rasanya tak akan mampu mereka membiayai pendidikan kami berdua yang sama-sama berada di Perguruan Tinggi Swasta. Pernah kucoba menghitung berapa jumlahnya, dan wow untuk 2 semester pembayaran kuliah dan biaya hidup kami bisa untuk beli mobil. Ini membuat aku percaya, setiap anak membawa rejekinya masing-masing.

Betapa bangganya aku terhadap kedua orangtuaku, kemudian terpikir olehku ! apa mereka sudah bangga terhadapku, apa aku sudah pernah –walaupun sekali- membuat mereka bangga dan berkata itu anakku. Kupikir belum. Belum sekalipun aku bisa membuat mereka benar-benar bangga. Ya Tuhan, beri aku sedikit waktu lebih banyak, beri mereka -kedua orangtuaku-  juga waktu yang lebih banyak. Biarkan aku, anak terakhir dari mereka membuat tangis bahagia karena aku, anak terakhir mereka bisa dibanggakan. Biarkan aku, si bungsu ini menikah dengan wali bapakku sendiri. Biarkan aku, si bungsu ini membuat mereka bangga seperti aku bangga terhadap mereka.

Always love you all, bapak Suparno, Ibu Sudarsih, Mbak Kurnia, dan Mas Sukrun. Peluk dan cium untuk kalian. Terimakasih karena sudah tidak pergi ketika yang lain mejauhiku.

Minggu, 11 Agustus 2013

Akhir dari apa yang tak punya awal

aku tau akan sesakit kemarin jika aku masih bertahan. itulah sebabnya aku menjauh perlahan. dan sekarang ketika kutau banyak fakta yang mengiris hati aku tak lagi bersikap cengeng. kehidupan memang keras untuk wanita sepertiku. bahkan terlalu keras jika aku hanya sibuk mencinta. aku harus sedikit mendendam.

jangan kau tanya seperti apa aku yang pendendam, aku pendedam yang hebat sayang ! tapi aku tau, jadi pendendam yang hebat tak selamanya keren. banyak sekali hati yang harus aku hancurkan, banyak sekali hati yang harus kuhianati ucapannya, hatiku sendiri.

ketika aku jadi pendendam aku seperti dua sisi mata uang. dilempar dan dilihat mana yang menang. dan selalu saja rasa dendam yang menang. tapi sekali lagi, ini tak keren sama sekali. ini MENYAKITKAN. lantas aku berkata pada diriku sendiri "urep ki sek legowo, sek jembar atine" ya benar :D

terimakasih untuk myPING! atas inspirasinya sehingga tulisan ini ini dapat terbaca. I always miss your fucking hug and kiss. ymy