Seperti
sedang ujian akhir sekolah , ketemu soal pilihan ganda yang kamu ragu antara A
atau C yang benar karena B dan D sudah jelas-jelas salah. Seperti sedang berada
di persimpangan dan kamu bingung kemana harus melangkah. Seperti aku yang
menyimpan banyak ragu…
Kupikir
ini hanyalah angin sejuk yang lewat tapi tak mau tinggal. Kurasakan semakin
jelas rupanya ini seperti topan yang lama-lama membesar. Menghancurkan
kewarasanku. Aku membiarkan semuanya terbang terbawa topan, aku menikmatinya.
Kamu
datang di saat yang tepat, tapi kamu datang membawa semua keraguanmu. Hingga
aku ikut ragu akan apa yang sedang kita jalani. Pernah sesekali kita
memperbincangkan cinta, tapi kita tak pernah sampai pada akhir cerita. Kita
membiarkannya menguap secara perlahan,
lalu kita endapkan lagi, lalu kita membiarkannya menguap lagi. Seterusnya.
Masa
lalu, itu melulu yang membuatmu ragu. Hatiku memilihmu. Tapi keraguanmu pada
masa lalu membuatku ragu membawamu ke masa depanku. Bukankah aku pernah bilang
di suatu malam lewat pesan yang kukirimkan “Jadikan masa lalu sebagai
pembelajaran agar kau tak melakukan kesalahan yang sama di masa depanmu”. Ahh
mungkin memang Tuhan berkata tidak kepada kita, mungkin kamu memang bukan
jalanku.
Tapi
kamu pernah berkata juga “Everything happen to a reason”. Jika sesuatu terjadi
pada kita, bukankah juga ada alasan untuk itu?. Tidakkah kamu berpikir bahwa
Tuhan mendekatkan kita karena sebuah alasan?. Apa yang sebentar dan sementara
ini hanya untuk pembelajaran masing-masing dari kita?. Lalu kenapa harus rasa
peduli yang timbul, bukankah peduli dan suka itu sama halnya dengan cinta?.
Terlalu cepat kusimpulkan semua ini cinta…
Kenapa
dengan melihat masa lalu yang terjadi di antara kita aku takut untuk maju,
mengambil langkah, memiliki dirimu. Aku sudah mulai terbiasa dengan hadirnya
dirimu di layar telepon genggamku. Sering sekali kita beda pendapat tentang
cara pandang kita terhadap kehidupan. Tentang beda-beda yang lainnya. Bukankah
perbedaan itu yang membuat kita satu suara. Jika tak ada perbedaan Bhineka
Tunggal Ika tak akan terpakai, katamu. Ya aku setuju padamu yang penuh dengan
ide gila.
Aku
suka sekali ketika kamu bilang aku terlihat pandai ketika kita berdebat. Kamu
selalu saja menyerah di tengah perdebatan. Selalu bilang kalau kamu mengalah
dan mengiyakan kata-kataku. Padahal aku suka perdebatan kita itu, panjang kali
lebar kali tinggi perasaanku meluap. Tak terkontrol.
Tiba-tiba
saja aku merasa tak mampu jika harus melewati hari tanpa kabar darimu, bukankah
kamu juga merasakan hal yang sama? Mengutuk betapa kampretnya sinyal yang
timbul tenggelam. Kurasa kita sudah saling membutuhkan, lalu mengapa kita tidak
saling melengkapi.
Kubayangkan
kita minum kopi bersama. Matamu sibuk membaca buku Rahvayana karya Sudjiwo
Tedjo di tangan kananmu, aku sibuk membaca buku Soekarno yang ada di tangan
kiriku. Tangan kita yang lainnya sibuk menghangatkan dalam genggaman. Sesekali
kau letakkan buku karya dalang edan itu untuk mencecap kopi yang mulai
mendingin, ngomel betapa Sudjiwo Tedjo penuh dengan pemikiran edannya yang
membuatmu terkadang harus mengulang membaca agar paham apa maksud seniman itu.
Apa aku harus menjawab dengan gaya Soekarno agar kamu paham bahwa aku lebih tak
paham daripadamu.
Aku
tau kamu belum siap untuk terikat. Aku tau kamu tak mau jika harus berjalan
setengah hati. Aku tau kamu masih terkadang merindukan masa lalumu. Aku tau
itu, tapi cobalah untuk tau tentangku. Aku belajar sabar, tak pernah begini aku
sebelumnya. Akan kutunggu kamu di persimpangan ragu-ragu itu. Jika Tuhan
berkata iya untuk kita tentunya kita akan berjalan beriringan bukan? Tapi jika
memang tidak, akan kuteruskan pencarian atas sayapku yang lainnya yang ternyata
bukan ada padamu.